Rabu, 17 September 2014

BIOGRAFI KH. IRFAN BIN MUSA


Makam KH. Irfan bin Musa

1. Masa-masa mencari ilmu

Pada tahun 1859 di Kota Kaliwungu Irfan lahir. Ia adalah anak nomor 19 diantara 20 anak Kyai Musa dengan ibu Khodijah. Diantara saudara-saudaranya ia telah memiliki tabiat dan kesukaan-kesukaan yang berbeda yang mulai ditunjukkan sejak dari kecil. Bermain-main sebagai naluri anak kecil, seperti main kelereng atau main layang-layang dan sejenisnya, ternyata tidak mampu mengusik minat irfan, ia memang bermain-main panahan tetapi itupun sekedar untuk melayani adik kandungnya, yaitu Ridlwan. Jika banyak diantara teman-teman sebayanya tengah bermain-main, maka ia hanya mau melihatnya dari kejauhan, ia adalah anak pendiam dan mau berbicara hanya untuk hal-hal yang dianggap sangat perlu saja.

Karena wataknya (thobi’atnya) yang pendiam dan tidak suka dengan mainan, maka ibunya, suatu ketika memanggilnya dengan panggilan “kemlu” panggilan ini diberikan oleh ibunya, mungkin dengan maksud agar anak-anak sebayanya tidak lagi memaksa Irfan untuk ikut serta dalam sepermainannya.

Kepekaan Irfan dalam menjaga diri, yaitu bagaimana orang tua, saudara-saudaranya dan teman-temannya tidak tersinggung terhadap perilakunya, telah ditunjukkan dari masa kanak-kanaknya, misalnya dalam hal makanan, ia tidak pernah sekalipun menolak makanan yang diberikan kepadanya, sepanjang makanan itu halal dan bersih, tetapi tidak berarti bahwa Irfan suka makan, yang terjadi justru sebaliknya, ketika waktunya makan sudah datang ia tidak cepat-cepat makan sebelum disuruh oleh ibunya.

Masa kanak-kanak Irfan rupanya tidak disibuki oleh mainan melainkan oleh gairah keilmuan. Ia mulai belajar mengaji sejak dari usia kecilnya. Kyai Ismail (Bapak Kyai Ahmad Thohir), Kyai Abdul Karim kampung Petekan, Kyai Abdul Manan (Bapak Kyai H. Abu Chair) kampung Sarean dan Kyai Barnawi adalah Ulama yang mulai mendidik dan mengajarkan berbagai ilmu agama.


2. Masa-masa Mencari Ilmu

Disaat menginjak usia 15 tahun ia berangkat ke mekah. Di makkatul Mukarromah ia belajar mengaji berbagai kitab dari para ulama masyhur disana selama lima belas tahun lamanya dan berkesempatan menunaikan ibadah haji setiap tahunnya selama ia mukim di sana.

Nama-nama ulama yang mengajarnya antara lain Syeh Al Mukarrom Kyai Muhtarom Nahrowi, dan Syeh Al mukarrom Kyai Mahfudz bin Abdullah Attarmasy.

Meskipun Kyai Haji Irfan sudah lama mukim dan belajar ilmu-ilmu agama pada ulama-ulama masyhur di Makkatul Mukarromah selama masa 15 tahun, tetapi sikap tawadlu’, rendah hati dan menghormati kepada sesama apalagi kepada yang lebih tua tetap di jaga. Sikap tawadlu’nya itu ditunjukkan misalnya dengan kesediaan beliau untuk menambah ilmunya kepada ulama Indonesia, sepulangnya dari belajar di Mekah, beliau pada setiap bulan Romadlon masih bersemangat menambah ilmu di pondok Mangkang yang sekarang masuk wilayah Semarang.

Kyai Musa, ayah Kyai Haji Irfan, adalah salah seorang pedagang emas di Semarang. Pada waktu itu, konon, cara berdagang emas seperti layaknya orang berdagang kacang goreng, yakni jual beli emas itu di lakukan dengan cara memakai takaran tidak seperti alat timbang emas yang kita kenal sekarang.

Usaha dibidang jual-beli emas ini juga menandakan bahwa Kyai Musa sebetulnya tergolong orang yang cukup kaya waktu itu.

Setelah Kyai Musa wafat, maka sebagaimana ajaran agama Islam, harta bendanyapun dibagi-bagi menurut aturan hukum waris Islam. Setiap anak mendapatkan bagian sesuai dengan haknya. Dari hasil pembagian tersebut kemudian dikembangkan untuk mendirikan pabrik batik bersama saudara-saudaranya.

Akan tetapi akhirnya Kyai Haji Irfan tidak mempunyai minat terhadap harta benda, yang diutamakan adalah ilmu, karena itu yang selalu dicarinya adalah ilmu. Gairahnya pada ilmu yang sangat besar itu, membimbingnya pada keputusan untuk menyerahkan harta bendanya kepada kakaknya, Kyai Abdul Rosyid untuk mengembengkannya. Jika beliau memerlukan uang sekedar untuk kebutuhan membeli kitab dan sebagainya, beliau hanya meminta uang secukupnya kepada kakaknya itu. Hal itu berlangsung sampai beliau membina rumah tangga, segala kebutuhan rumah tangga dicat,. dicukupi oleh kakaknya. Alkisah, ketika saudara-saudaranya tengah membicarakan masalah uang, adiknya, yaitu Ridlwan (ayah Kyai Haji Asror) melihat bahwa Kyai Haji Irfan menuju ke arahnya. Melihat gelagat kedatangan Kyai Haji Irfan ini mereka lantas menghentikan pembicaraannya itu, takut kalau di ketahui olehnya. Beliau tidak suka melihat orang-orang membicarakan masalah uang, meskipun iyu saudara-saudaranya sendiri. Kesukaan Kyai Haji Irfan hanya kepada babakan ilmu dan membenci kepada harta benda. Allah telah mengangkat derajatnya menjadi orang yang sangat berwibawa. Karena wibawanya itu, bukan saja beliau di segani oleh orang banyak tetapi juga oleh saudara-saudaranya sendiri.

Ikhtiyar Kyai Haji Irfan dalam mencari ilmu tidaklah di lakukan dengan bermewah-mewahan atau bersenag-senang seperti menyukai makanan-makanan enak dan berpakaian bagus, tetapi yang di lakukannya ialah justru menghindari segala makanan yang di rasakannya enak cita rasanya, serta tidak mau memakai pakaian bagus. Karenanya, saat beliau muqim di Mekah, beliau membiasakan diri dalam hal menanak nasi dengan mencampurkan pasir pada beras yang di tanaknya. Beliau melakukan itu agar tidak merasakan kelezatan dan agar lama habisnya. Tingkah laku seperti ini menandakan bahwa beliau sebetulnya termasuk mutashowwif orang yang terikat oleh tabi’at ajaran-ajaran suati thoreqot. Dan menurut anak keturunannya, beliau memang masuk pada thoreqot syathoriyah.


3. Membina Rumah Tangga

Setelah usia muda di isi dengan berbagai keutamaan, seperti ilmu, tata laku dan amaliah, beliaupun mulai meniti mengenai ajaran Nabi yang menyangkut babakan nikah. “Jika aku menginginkan anak-anak soleh yang akan menyiarkan agama Allah, yang akan menganjurkan kepada umat tentang kewajiban dan ketaqwaan, bukankah aku harus menikah?”, begitu kira-kira angan-angan Kyai Haji irfan waktu itu. Bukankah menikah itu sunah Nabi? bukankah menikah itu sebagai ibadah bagi hamba-hambanya yang bertaqwa kepada-Nya?”. Kyai Haji Irfan tak henti-hentinya merenungkan makna suatu pekawinan.

Setelah melakukan serangkaian istikharah, meminta petunjuk Allah pada setiap hari dan malamnya, maka di putuskan untuk menikah dengan Ruqoyyah. Beliau menijah sejak sekitar 10 tahun setelah kepulangannya dari Mekkah. Beliau menikahi Ruqoyyah pada hari Senin bulan jumadil Akhir tahun 1317 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1899 Masehi.

Ada ungkapan, “semakin dalam ilmu seorang, akan semakin tidak tahu. Jika dalam babakan ilmu perasaan tidak tahu itu akan melahirkan sikap tawadlu’, rendah hati dan lahir pula gairah mencari ilmu.

Setelah menimbang-nimbang diri, maka beliau berbulat hati meminta ijin istrinya, mertua dan saudara-saudaranya untuk tholabul ilmi lagi ke Mekkah. Hari-harinya di lalui dengan muthola’ah kitab dan mengaji, dan malam hari tak pernah di lepaskan tanpa di isi dengan tadarus Al Qur’an, sholatul lail dan do’a-do’a panjang. “Aku berserah diri ke hadapan-Mu ya Allah. Berilah aku setetes ilmu dari lautan ilmu yang tak pernah kering. Jadikanlah aku ya Allah orang yang memberi manfaat. Jika kelak aku punya anak, cucu dan keturunanku, maka bimbinglah mereka semua dan jadikanlah merika sebagai penyiar dan penjaga kemurnian agama-Mu.

Sepulanngnya beliau dari Mekkah, tidak lama kemudian tepatnya pada hari Jum’at tanggal 4 Syawal tahun 1362 H. atau 1908 M. beliau menikah lagi dengan Istiqomah. Dengan Nyai Istiqomah ini lahir seorang anak yaitu Khumaidun, sedang dengan istri pertama yaitu Nyai Ruqoyyah menurunkan 12 anak, yaitu : Abdul Aziz, Iqyanah, Achmad Fityani, Fityanah, Humaidyani, Hamdan, Hamdanah, Muhammad Kholis, Asyfiya’, Syifa’, Maryam dan Ahmad Dum. Dari 12 anak itu 9 di antaranya meninggal dunia di usia balita.

Sekitar 3 tahun lamanya beliau mendampingi istri keduanya, yaitu Istiqomah, kemudian meninggal dunia dalam usia relatif muda. Karena itu, sepeninggalnya Nyai Itiqomah, Kyai Haji Irfan berkeinginan untuk dapat memperoleh banyak keturunan lagi yang nantinya dapat meneruskan perjuangan yang di cita-citakan. Cita-cita yang selalu ada dalam angan-angannya ialah menyebar luaskan ajaran-ajaran agama Islam di berbagai tempat khususnya di daerah Kaliwungu. Untuk itu perlunya ada orang-orang yang faqih. yang ‘alim dalam babakan ilmu agama, dan mereka yang alim itu, terutama anak-anak cucunya nanti menjadi anak yang sholih, sholihat mau meluangkan waktunya untuk mengajar para santri dan warga masyarakat sekitarnya.

Syukurlah kalau di Kaliwungu pada akhirnya menjadi tempat orang-orang mencari ilmu agama dan di Kaliwungu pula banyak berdiri pesantren dan madrasah.

Renungan Kyai Haji Irfan mengenai keadaan masyarakat ang ideal, yaitu masyarakat yang di hiasi dengan nilai-nilali agama, masyarakat yang di payungi oleh orang-orang alim dan masyarakat yang di sibukkan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan serta tercipta banyak pesantren dan majlis-majlis serta madasah, membawanya kepada niat untuk memperbanyak keturunan. Untuk itu dengan taqqrrub dan istikharah, Kyai Haji Irfan pada akhirnya menikah lagi dengan Nyai Sufirah. Akad niakh dengan istri yang ke tiga ini dilaksanakan pada hari Senin (malam), tanggal 8 Ramadhan tahun 1331 H. bertepatan pada bulan Agustus 1991 M. Dengan Nyai Sufirah ini di karuniai 8 anak, namun tiga di antaranya, yaitu: Ubaidullah, Humaida’, dan Humaidatun meninggal dunia ketika masih kecil. Maka dengan Nyai Sufiroh ini, anak-anak yang dapat di asuh sampai akhir hayatnya ialah Humaidullah, Ubaidullah, Ibadullah dan Ibadiyah.

Meskipun beliau berpoligami, beliau selalu bertindak adil terhadap istri-istrinya sebagaimana yang telah di naskan dalam Al Qur’an dan sesuai ajaran yang telah di praktekkan Nabi Muhammad SAW. Salah satu contoh kecil yang mencerminkan keadilan beliau, setiap mendapat undangan kenduri (keselamatan), berkat bagiannya sepulangnya dari rumah shohibul baet, ditengah perjalanan menuju rumahnya beliau selalu membegi dua isi berkat tersebut. Sehingga masing-masing istrinya sama-sama mendapatkan dan merasakan isi berkat itu.

4. Silsilah Keturunannya

Lembu Peteng
Kyai Ageng Tarub I
Kyai Ageng Tarub II
Kyai Ageng Gates
Kyai Ageng Selo
Kyai Ageng Ngelawehan Surokarto
Kyai Ageng Pemanahan]
Panembahan Senopati Mataram
Kyai Jewo Seto
Kyai Qomarudin
Kyai Ma’arif
Kyai Abdul Baqi
Kyai Musa


1. Qosim, 2. Marmah, Isma’il, 4. Yusuf, 5. Abdullah, 6. Salamah, 7. Abdul Syakir, 8. Marhamah, 9. Markani, 10. Maryati, 11. Ngarfiyah, 12. Abdul Rosyid, 13. Idris, 14. Mariyah, 15. Kun, 16. Syawal, 17. Muhsin, 18. Isa, 19. Irfan, 20. Ridlwan.




SILSILAH KELUARGA BESAR BANI IRFAN BIN MUSA

Lembu peteng (x)
Kiyai Ageng Tarub I (x)
Kiyai Ageng Tarub II (x)
Kiyai Ageng Gates (x)
Kiyai Ageng Selo (x)
Kiyai Ageng Ngelawehan Surokarto (x)
Kiyai Ageng Pemanahan (x)
Panembahan Senopati Mataram (x)
Kiyai Jewo Seto (x)
Kiyai Qomaruddin (x)
Kiyai Ma’arif (x)
Kiyai Abdul Baqi (x)
Kiyai Musa (x)
KH. IRFAN (x)
+1. Nyai Ruqoyyah (x)
+2. Nyai Istiqomah (x)
+3. Nyai Sufirah (x)

â KH. Irfan (x) + Nyai Ruqoyyah (x) (istri pertama)
1. Iqyani / KH. Abdul aziz (x)
2. Iqyanah (x)
3. Fityani (x)
4. Fityanah (x)
5. Humaidyani (x)
6. Hamdan (x)
7. Hamdanah (x)
8. Moh. Kholish (x)
9. Ashfiya (x)
10. Syifa’ (x)
11. Maryam (x)
12. Ahmad Dum (x)

â KH. Irfan (x)+ Nyai Istiqomah (istri kedua) (x)
1. Humaidun (x)

â KH. Irfan (x) + Nyai Sufirah (x) (istri ketiga)
1. Humaidullah (x)
2. Ubaidullah (x)
3. Humaida’ (x)
4. Humaidatun (x)
5. Ubaidullah (x)
6 Ibadullah (x)
7. Ibadiyah (x)